Sabtu, 20 Desember 2008

bahan untuk psikologi belajar

ORIENTASI BARU DALAM PSIKOLOGI BELAJAR
Analisa komperehensif untuk “Orientasi Baru Dalam Psikologi
Belajar” ini menyangkut topik : (1) Teori belajar menurut paham
behaviorism, Cognitivism, Constructivism, dan Social Learning Theory;
(2) Thinking skills; (3) Motivation; (5) Memory and forgetting; (6)
Learner Autonomy; dan (7) Cooperative Learning.
A. Teori Belajar
Pemahaman guru akan pengertian dan makna belajar akan
mempengaruhi tindakannya dalam membimbing siswa untuk belajar.
Guru yang hanya memahami belajar hanya agar murid bisa menghafal
tentu beda cara mengajarnya dengan guru yang memahami belajar
merupakan suatu perubahan tingkah laku.Untuk itu guru penting
memahami pengertian belajar dan teori-teori belajar . Belajar adalah
suatu proses perubahan tingkah laku atau kecakapan manusia berkat
adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan
lingkungannya sehingga mereka lebih mampu beriteraksi dengan
lingkungannya. W.H. Burton mendefinisikan belajar : “Learning is a
change in the individual due to instruction of that individual and his
environment, which fells a need and makes him more capable of
dealing adequately with his environment”
1
. Dari pengertian tersebut
ada kata ‘change” maksudnya bahwa seseorang yang telah mengalami
proses belajar akan menhalami perubahan tingkah laku baik dalam
kebiasaan (habit), kecakapan-kecakapan (skills) atau dalam tiga aspek
yaitu pengetahuan (kognitif), sikap (affektif), dan ketrampilan
(psikomotor). Sedang Ernest R. Hilgard dalam B. Simandjuntak dan IL.
Pasaribu mengemukakan “Belajar adalah suatu proses perubahan
kegiatan karena reaksi terhadap lingkungan, perubahan tersebut tidak
dapt disebut belajar apabila disebabkan oleh pertumbuhan atau
kedaan sementara seseorang seperti kelelahan atau disebabkan obat-
obatan”.
2
Teori belajar pada umumnya dibagi menjadi 4 golongan,
dengan mempelajari teori ini guru dapat memahami dasar proses
belajar beserta dalil-dalilnya sehingga guru dapat memanajemen
proses belajar mengajar.
1
W.H. Burton, The Guidances of Learning Activities, Appleton Century Crofts, New York, 1952
2
B. Simandjuntak dan IL. Pasaribu, Psikologi Perkembangan, Tarsito, Bandung. 1981
2
1. Behaviourisme
Tokoh utama aliran ini adalah J.B. Watson. Watson membaca karya
Pavlov dia merasa mendapatkan model yang cocok untuk
pendiriannya, untuk menjelaskan tingkah laku manusia.
* Classical conditioning (Ivan Petrovich Pavlov 1849):1936):
Assosiative Learning
Teori ini dikemukkan oleh Pavlov yang kemudian dipelopori oleh
Guthric, Skinner yang berhaluan behavioris. Pavlov mengadakan
eksperimen disebut Condition reflex karena yang dipelajari gerakan
otot sederhana yang secara otomatis bereaksi terhadap suatu
perangsang tertentu. Reflex dapat ditimbulkan oleh perangsang yang
lain yang dahulunya tidak menimbulkan reflex tadi.
Kesimpulan Pavlov:
3
Pertanda /signal dapat memainkan peranan penting alam adaptasi
hewan terhadap sekitarnya. Reaksi mengeluarkan air liur pada anjing
karena mengamati pertanda mula mula disebut reflek bersyarat
(conditional reflex/CR). Pertanda atau signal disebut perangsang
bersyarat (Conditioned Stimulus/CS). Makanan disebut perangsang tak
bersyarat (Unconditioned Stimulus/US). Sedangkan keluarnya air liur
karena makanan disebut refleks tak bersyarat (Unconditioned
reflex/UR).
Teori ini menekankan bahwa belajar terdiri atas pembangkitan
respons dengan stimulus yang pada mulanya bersifat netral atau tidak
memadai. Melalui persinggungan (congruity) stimulus dengan respos,
stimulus yang tidak memadai untuk menimbulkan respons tadi
akhirnya mampu menimbulkan resposns.
4
Implikasi teori belajar ini dalam pendidikan adalah :
5
1. Tingkah laku guru mengharapkan murid menghafal secara
mekanis/otomatis
2. Verbalitis karena tingkah laku mechanistis dan reflektif.
3. Guru tersebut membiasakan muridnya dengan latihan
4. Sekolah D (duduk), tidak ada inisiatif karena perasaan, pikiran
tak mengarahkan tingkah laku
5. Guru hanya memberi tugas tanpa disadari oleh muridnya
6. Guru tidak memperhatikan individual differences
7. Guru menggunakan “learning by parts” sampai tak ada
hubungan
8. Guru menyuapi murid saja dan murid menerima yang diolah
guru, jadi guru aktif.
3
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Rajawali Pers, Jakarta, 1987
4
Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, Sinar Baru Algensindo, Jakarta, 2000
5
B. Simandjuntak dan IL. Pasaribu, op cit, halaman 194
3
Hal ini terjadi karena (menurut teori belajar contioning) :
a. Terbentuknya tingkah laku sangat sederhana dan mekanistis
reflektif
b. Peranan perasaan, kemauan, pikiran, kepribadian tak
mengarahkan tingkah laku. Jadi manusia saja
c. Tak sanggup menganalisa tingkah laku yang kompleks dimana
tenaga rohani sebagai pendorong.
d. Terbentuknya tingkah laku karena habis formation.
Assosiative Learning
6
Pada hakikatnya perkembangan adalah proses asosiasi bagi para
ahli aliran ini yang primer adalah bagian-bagian ada lebih dulu
sedangkan keseluruhan ada lebih kemudian. Bagian itu terikat satu
sama lain menjadi suatu keseluruhan oleh asosiasi.
Salah satu tokoh aliran asosisasi adalah John Locke. Locke
berpendapat bahwa pada permulaannya jiwa anak itu adalah bersih
semisal selembar kertas putih. yang kemudian sedikit demi sedikit
terisi oleh pengalaman
atau empiris. Dalam hal ini Locke
membedakan adanya dua macam pengalaman , yaitu:
1. Pengalaman luar, yaitu pengalaman yang diperoleh dengan
melalui panca indera yang menimbulkan “sensation”
2. Pengalaman dalam, yaitu pengalaman mengenai keadaan dan
kegiatan batin sendiri yang menimbulkan “reflexions”. Kesan
“sensation dan reflexions” merupakan pengertian yang
sederhana (simple ideas) Yang kemudian dengan asosiasi
membentuk pengertian yang kompleks (Complex ideas).
Aliran asosiasi ini meninggalkan sejarah , tetapi dalam lapangan
pendidikan masih ada yang menjalankan, misalnya mengajar
membaca dan menulis secara sintetis, metode menggambar secara
sintetis.
Praktik belajar seperti dalam teori ini masih digunakan terutama
ditingkat pendidikan dasar dan sekolah agama atau di pesantren-
pesantren. Murid diberi drill, praktik, pengulangan dan kejadian-
kejadian sesuai teori ini. Belajar asosiasi dimana urutan-urutan kata-
kata tertentu berhubungan sedemikian rupa terhadap obyek-obyek,
konsep-konsep, atau situasi sehingga bila kita menyebut yang satu
cenderung menyebut yang lain. Misalnya ayah berasosiasi dengan Ibu,
kursi dengan meja. Jika digunakan untuk model pembelajaran
sekarang masih relevan tentu dengan paradigma baru misalnya
menerangkan dengan mode, gambar dan demostrasi.
* The Law Of Effect (Edward L.Thorndike;1874-1949) : S-R
Theory
6
Sumadi Suryabrata, op. cit, halaman 172
Thorndike berpendapat , bahwa yang menjadi dasar belajar ialah
asosiasi antara kesan panca indra (sense impression) dengan impulse
untuk bertindak (impulse to action).
Bentuk belajar oleh Thorndike disifatkan dengan “Trial and Error
learning” atau “learning by selecting and connecting” . Belajar
berlangsung 3 hukum (1) law of readiness; (2) law of exercise; (3)
law of effect
Law of effect ini menunjukkan kepada makin kuat atau makin
lemahnya hubungan sebagai akibat daripada hasil respon yang
dilakukan . Apabila suatu hubungan atau koneksi disebut dan ditandai
atau diikuti oleh keadaan yang memuaskan , maka kekuatan
hubungan itu akan bertambah, sebaliknya apabila suatu koneksi
dibuat dan disertai atau diikuti oleh keadaan yang tidak memuaskan,
maka kekuatan hubungan itu akan berkurang.
7
Dalam Law of effect,
segala tingkah laku yang mengakibatkan keadaan yang
menyenangkan akan diingat. Dan tingkah laku yang menyenangkan
mudah untuk dipelajari begitu pula sebaliknya.
Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara
stimulus dan respons. Itulah sebabnya teori ini disebut SR Bond
Theory atau S-R Psycology of Learning” atau S-R Theory disebut juga
teori “Trial and Error Learning”
Berdasarkan teori belajar tersebut , maka implikasinya bagi
dalam pendidikan sebagai berikut :
8
1. Tak memperhatikan individual differences.
2. Kadang-kadang lupa akan tujuan pokok, karena terlalu
memperhatikan alat (reward)
3. Biasanya yang berhasil adalah murid yang struggle untuk
menerima hadiah (reward)
Hal ini didasarkan pada pendapat teori diatas :
1. Manusia belajar karena kepuasan untuk memperoleh
ganjaran
2. Tingkah laku terbentuk karena hasil trial & error dan law of
effect
3. Yang dilakukan seseorang disebabkan kesenangan sehingga
berlangsung secara otomatis conditioning.
Praktik belajar seperti cocok digunakan untuk memotivasi siswa
dengan pemberian hadiah/ganjaran/reward. Namun penggunaannya
hanya saat-saat tertentu dan dalam keadaan yang memungkinkan.
Sebab jika dilakukan terus menerus siswa cenderung mau belajar
7
Sumadi Suryabrata, Op Cit, halaman 271
8
B. Simandjuntak dan IL. Pasaribu, halaman 197
karena akan memperoleh reward, lalu kalau reward ditiadakan siswa
apakah masih mau belajar. Segala yang menyenangkan (law of
effect) akan diingat oleh siswa dan akan mudah dipelajari oleh siswa,
maka berdasarkan teori ini guru harus mampu menciptakan suasana
belajar mengajar yang menyenangkan. Guru harus mampu membuat
pelajaran
matematika
yang
menyeramkan
menjadi
yang
menyenangkan.
*Operant conditioning (Baron. F. Skinnner; 1904 –1990) :
Reward & Punishment (Positive and Negative reinforcement)
Sebagaimana tokoh behavour lainnya, Skinner juga memikirkan
tingkah laku sebagai hubungan antara perangsang dan response,
hanya saja
Skinner membedakan dua macam response : (1)
responden response (reflextive response), yaitu respon yang
ditimbulkan oleh perangsang-perangsang
tertentu,
Perangsang
demikian disebut eliciting stimuli, menimbulkan respose yang relatif
sama; dan (2) Operant response (instrumental response) yaitu
response yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang-
perangsang tertentu. Perangsang demikian disebut reinforcing stimuli
atau reinforcer karena perangsang-perangsang tersebut memperkuat
response yang telah dilakukan oleh organisme.
Implikasi dalam dunia pendidikan dari teori ini :
1. Anak yang telah belajar akan menjadi giat belajar jika mendapat
hadiah
2. Hadiah yang diberikan kepada siswa tidak harus berupa barang
3. Inovasi Pengajaran sebagian besar disusun berdasarkan teori
Skinner, yaitu memberikan dasar teknologi pendidikan yang
banyak digunakan di Indonesia seperti PPSI, modul dan
pengajaran tuntas.
Teori ini belajar ini cocok untuk pendidikan modern dengan
menggunakan inovasi-inovasi baru misalnya belajar model konferensi
dengan bantuan komputer yang saling berhubungan (internet)
sehingga dapat meningkatkan Operan response siswa menjadi lebih
intensif/kuat. Teori ini masih berkembang di Amerika, tentu saja untuk
Indonesia juga masih sangat cocok.
2. Cognitivism
Pandangan tentang teori belajar ini meliputi kemampuan atau
mengatur kembali dari
susunan pengetahuan melalui proses
kemanusiaan dan penyimpanan informasi. Pendapat Jean Piaget
6
mengenai perkembangan proses belajar pada anak-anak adalah
sebagai berikut :
9
1. Anak mempunyai struktur mental yang berbeda dengan orang
dewasa. Mereka bukan merupakan orang dewasa dalam bentuk
kecil, mereka mempunyai cara yang khas untuk menyatakan
kenyataan dan untuk menghayati dunia sekitarnya. Maka
memerlukan pelayanan tersendiri dalam belajar.
2. Perkembangan mental pada anak melalui tahap-tahap tertentu
menurut suatu urutan yang sama bagi semua orang.
3. Walaupun berlangsungnya tahap-tahap perkembangan itu
melalui suatu urutan tertentu, tetapi jangka waktu untuk berlatih
dari satu tahap ke tahap yang lain tidaklah selalu sama pada
setiap anak.
4. Perkembangan mental anak dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu :
a. kemasakan
b. pengalaman
c. interaksi social
d. equilibration (proses dari ketiga faktor diatas bersama-
sama untuk membangun dan memperbaiki struktur
mental)
Piaget membagi 4 tingkat perkembangan kemampuan otak untuk
berpikir mengembangkan pengetahuan (cognitif) :
1. Sensor motor (umur 2 tahun)
2. Pre Oprasional (umur 2-7 tahun)
3. Konkret Oprasional (umur 7-11 tahun)
4. Format Oprasional (umur 11 tahun ke atas)
Skema sensor adalah prilaku terbuka yang bersifat jasmaniah
yang tersusun secara sistematis dalam diri bayi/anak yang merespon
lingkungan. Sedangkan skema kognitif adalah tatanan tingkah laku
untuk memahami dan menyimpulkan lingkungan yang direspon.
Ada dua macam kecakapan kognitif siswa yang amat perlu
dikembangkan segera, khususnya oleh guru, yakni :
1. Strategi belajar memahami isi materi pelajaran
2. Strategi meyakini arti penting isi materi pelajaran dan
aplikasinya serta menyerap pesan-pesan moral yang terkandung
dalam materi pelajaran
Teori Piaget ini beberapa hal dapat dibenarkan. Namun juga ada
perkecualian bahwa ada anak pada level usia sama tapi kognisinya
berbeda. Pada usia 7 – 11 anak-anak sudak bisa menggunakan logika,
siswa mudah belajar jika konsep pelajaran konkrit, jangan abstrak.
Misalnya menghitung dengan bantuan jari-jari tangan. Tapi sayang di
9
Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, Rineka Cipta, Jakarta, 1995
Indonesia untuk pendidikan setingkat Sekolah Dasar, siswa diarahkan
pada belajar abstrak. Akibatnya pelajaran tidak membekas di memori
anak, justru saat ini sedang trend diluar jam pelajaran anak-anak
kursus matematika dengan bantuan sempoa. Peralatan ini akan
memudahkan anak belajar, dan hasil pelajaran akan tersimpan lama
dalam memori anak. Rupanya ada kesenjangan dalam belajar antara
dunia SD dengan dunia kursus, padahal untuk setingkat SD belajar
konkrit sangat bagus untuk perkembangan kognisi siswa. Untuk itu
para praktisi pendidikan perlu juga menyimak model belajar Dr. Maria
Montessari yang menggunakan metode belajar konkrit dengan
bantuan alat-alat belajar.
3. Constructivism
Teori belajar Kontstruksi
merupakan teori-teori
yang
menyatakan bahwa siswa itu sendiri yang harus secara pribadi
menemukan dan menerapkan informasi kompleks, mengecek
informasi baru dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki
aturan itu apabila tidak sesuai lagi.
Konstruktivisme lahir dari gagasan Jean Piaget dan Vigotsky
dimana keduanya menekankan bahwa perubahan kognitif hanya
terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami diolah melalui
suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memakai informasi-
informasi baru.
Hakikat dari teori konstruktivism adalah ide bahwa siswa harus
menjadikan informasi itu miliknya sendiri. Teori ini memandang siswa
secara terus menerus memeriksa informasi-informasi baru yang
berlawanan dengan aturan-aturan lama dan memperbaiki aturan-
aturan tersebut.
Salah satu prinsip paling penting adalah guru tidak dapat hanya
semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa, siswa harus
membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri., guru hanya
membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat
informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa
dengan memberikan kesimpulan kepada siswa untuk menerapkan
sendiri ide-ide dan mengajak siswa agar siswa menyadari dan secara
sadar menggali strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar.
Pendekatan
konstruktivism
dalama
pengajaran
lebih
menekankan pada pengajaran Top-Down daripada Bottom-Up. Top-
Down berarti siswa mulai dengan masalah-masalah yang kompleks
untuk dipecahkan dan selanjutnya memecahkan atau menemukan
(dengan bantuan guru) keterampilan-ketrampilan dasar yang
diperlukan.
Constructivism dibagi tiga yaitu Zone of Proximal Development;
Cognitive Apprenticeship;Scaffolding
1. Zone of Proximal Development atau zona perkembangan
terdekat adalah ide bahwa siswa belajar konsep paling baik
apabila konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat
mereka.
2. Cognitive Apprenticeship, konsep lain yang diturunkan dari teori
Vygotsky menekankan pada dua-duanya hakikat sosial dari
belajar dan zona perkembangan terdekat adalah pemagangan
kognitif .
3. Scaffolding atau mediated learning, akhirnya teori Vygotsky
menekankan bahwa scaffolding atau mediated learning atau
dukungan tahap demi tahap untuk belajar dan pemecahan
masalah sebagai suatu hal penting dalam pemikiran
konstruktivism modern.
Prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam
pendidikan sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang sering diambil
dari konstruktivisme antara lain : (1) pengetahuan dibangun oleh
siswa secara aktif; (2) tekanan proses belajar mengajar terletak pada
siswa; (3) mengajar adalah membantu siswa belajar; (4) tekanan
dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan pada hasil belajar;
(5) kurikulum menekankan pada partisipasi siswa; (6) guru adalah
fasilitator.
10
Penulis menyarankan agar konstruktivisme ini digunakan
oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar bentuk yang bisa dilakukan
diantaranya konsep pembelajar mandiri (learner utonomy ), belajar
kelompok (cooperative learning).Guru hanya sebagai mediator,
selanjutnya siswa secara sendiri-sendiri maupun kelompok aktiv untu
memecahkan persoalan yang diberikan guru sehingga mereka dapat
membangun pengetahuan.
4. Social Learning
Teori Belajar Sosial disebut Teori Observational Learning (Belajar
Observasional dengan pengamatan ). Tokoh utama teori ini adalah
Albert Bandura. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan
semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S – R Bond), melainkan
juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara
lingkungan dengan skema kognitip manusia itu sendiri.
Prinsip Dasar Social learning :
1. Sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui:
peniruan (imitation), penyajian contoh perilaku (modeling).
2. Dalam hal ini, seorang siswa belajar mengubah perilaku sendiri
melalui penyaksian cara orang/ sekelompok orang mereaksi /
merespon sebuah stimulus tertentu.
10
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan, Kanisius, Yogyakarta, 1997
9
3. Siswa dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara
pengamatan terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya
: guru / orang tuanya.
Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan
sosal dan moral siswa ditekankan pada perlunya conditioning
(pembiasaan merespons) dan imitation (peniruan).
Prosedur-prosedur Social learning :
1 . Conditioning : prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku
social dan moral pada dasarnya sama dengan prosedur belajar dalam
mengembangkan perilaku-perilaku lainnya, yakni dengan ; Reward
(ganjaran / memberi hadiah/ mengganjar), Punishment (hukuman /
memberi hukuman).
1. Dasar pemikirannya : Sekali seorang siswa mempelajari
perbedaan antara perilaku-perilaku yang menghasilkan
ganjaran
(reward)
dengan
perilaku-perilaku
yang
mengakibatkan hukuman (punishment), ia senantiasa berpikir
dan memutuskan perilaku social mana yang perlu ia perbuat.
2. Komentar orang tua / guru : ketika mengganjar/menghukum
siswa merupakan faktor yang penting untuk proses
penghayatan siswa tersebut terhadap moral standards
(patokan-patokan moral ).
3. Orang tua dan guru diharapkan memberi penjelasan agar
siswa tersebut benar-benar paham mengenai jenis perilaku
mana yang menghasilkan ganjaran dan jenis perilaku mana
yang menimbulkan sangsi.
4. Reaksi-reaksi seorang siswa terhadap stimulus yang ia pelajari
adalah hasil dari adanya pembiasaan merespons sesuai dengan
kebutuhan.
5. Melalui proses pembiasaan merespons (conditioning) ini,
menemukan pemahaman bahwa ia dapat menghindari
hukuman dengan memohon maaf yang sebaik-baiknya agar
kelak terhindar dari sanksi.
2. Imitation (peniruan).
Dalam hal ini, orang tua dan guru seyogyanya memainkan peran
penting sebagai seorang model / tokoh yang dijadikan contoh
berperilaku sosial dan moral bagi siswa. Contoh : Mula-mula seorang
siswa mengamati model gurunya sendiri yang sedang melakukan
sebuah sosial, umpamanya menerima tamu, lalu perbuatan menjawab
salam, berjabat tangan, beramah-tamah, dan seterusnya yang
dilakukan model itu diserap oleh memori siswa tersebut. Diharapkan,
cepat/lambat siswa tersebut mampu meniru sebaik-baiknya perbuatan
social yang dicontohkan oleh model itu.
10
Kualitas kemampuan siswa dalam melakukan perilaku social
hasil pengamatan terhadap model tersebut, antara lain bergantung
pada ketajaman persepsinya mengenai ganjaran dan hukuman yang
berkaitan dengan benar dan salahnya perilaku yang ia tiru dari model
tadi. Selain itu, tingkat kualitas imitasi tersebut juga bergantung pada
persepsi siswa “ siapa “ yang menjadi model. Maksudnya, semakin
piawai dan berwibawa seorang model, semakin tinggi pula kualitas
imitasi perilaku social dan moral siswa tersebut.
Jadi dalam Social Learning, anak belajar karena contoh
lingkungan. Interaksi antara anak dengan lingkungan akan
menimbulkan pengalaman baru bagi anak-anak. Sebagai contoh hasil
belajar ini adalah keagresifan anak bukan tidak mungkin disebabkan
oleh tayangan kekerasan dalam film-film laga di Televisi. Anak-anak
SLTP, SLTA cara memakai baju yang ketat, tidak rapi, gaya bicara
yang prokem ternyata akibat nonton tayangan televisi yang
menyajikan sinetron remaja seperti “Perkawinan Dini”. Anak-anak
yang konsumerisme/suka jajan ternyata pengaruh lingkungan yang
memberikan contoh konsumerisme. Maka disini perlu peran dari orang
tua, dan guru sebagai panutan bagi anak. Agar kedua tokoh ini dapat
memberikan bantuan penyelesaian masalah anak-anak dengan baik.
2. Thinking Skills
Ketrampilan berpikir (Thinking skills) diarahkan uintuk
memecahkan masalah, dapat dilukiskan sebagai upaya mengekplorasi
model-model tugas pelajaran di sekolah agar model-model itu menjadi
lebih baik dan memuaskan. Model itu kadang-kadang mendorong para
pemikir untuk berpikir lebih jauh berdasarkan informasi perceptual
yang mantap yang diperoleh dari lingkungannya, dan mampu
mengantisipasi hasil-hasilnya tanpa melalui perlakuan mencoba salah
(trial and error).
11
Ketrampilan berpikir telah menjadi ungkapan yang
bersifat umum, mencakup proses belajar dan memecahkan masalah.
Ada 3 klasifikasi dari ketrampilan berpikir (Sternberg,1989) :
Ketrampilan berpikir Kritis yang terdir (a) menganalisa; (b)
tinjauan/kupasan; (c) menilai;
(d) mempertimbangkan; (e)
membandingkan dan membedakan; (f) menaksir
1. Ketrampilan Berpikir praktis yang terdiri : (a) penerapan; (b)
penggunaan dan memanfaatkan; (c) latihan, praktik
2. Ketrampilan berpikir kreatif yang terdiri : (a) membuat; (b)
menemukan; (c) merekayasa; (d) membayangkan; (e) mengira;
(f) menduga
11
Cece Wijaya, Pengajaran Remedial, Rosda Karya, Bandung, 2001
11
Problim Solving
Problim solving merupakan ketrampilan
berpikir untuk
memecahkan masalah yang pelik. Metode yang digunakan adalah
menggunakan metode ilmiah berarti berpikir yang sistematik, logis,
teratur dan teliti.
Cara Ilmiah untuk memcahkan masalah dengan langkah-langkah:
12
1. Memahami masalah atau problema
2. Mengumpulkan keterangan atau data
3. Merumuskan hypotesa atau jawaban yang mengkin memberi
penyelesaian
4. Menilai suatu hypotesa
5. Men-test atau mengadakan eksperimen
6. Membentuk kesimpulan
Ketrampilan berpikir belum dikembangkan di Indonesia, terutama
di sekolah-sekolah, padahal ketrampilan ini besar manfaatnya dalam
memecahkan masalah kehidupan sehari-hari di rumah, di sekolah, di
kantor dan dimasyarakat. Rendahnya mutu pendidikan baik di tingkat
dasar, menengah maupun tinggi salah satunya belum dikembangkan
ketrampilan berpikir. Untuk itu upaya untuk pengembangan SDM
hendaknya dimulai di sekolah dengan cara mengembangkan
ketrampilan berpikir. Siswa sejak dini diajari problem solving dengan
cara berpikir ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah. Guru dan
dosen sebagai ujung tombak keberhasilan pendidikan hendaknya
mempunyai ketrampilan berpikir ini, agar dapat mengajarkan kepada
pelajar/mahapelajar mempunyai ketrampilan berpikir.
3. Motivation
Motivasi adalah suatu kondisi yang menyebebkan atau
menimbulkan perilaku tertentu, dan memberi arah dan ketahanan
(persistence) pada tingkah laku tersebut (Wlodkowski:1985)
Berdasar rumusan di atas motif merupakan faktor dinamis, penyebab
seseorang melakukan perbuatan. Suatu perbuatan dapat ditimbulkan
oleh sesuatu motif. Namun juga bisa disebabkan oleh beberapa motif.
Dalam belajar, motivasi punya peranan yang penting. Siswa tidak
akan belajar dalam arti yang sebenarnya kalau tidak ada motif.
Motivasi belajar siswa dibagi 2 yaitu : (1) motivasi intrinsik :
adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu
dirangsang dari luar, karena dalam setiap individu sudah ada dorongan
untuk melakukan sesuatu; (2) motivasi ekstrinsik : adalah motif-motif
yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar.
13
12
Nasution, Didaktik Metodik, Bina Aksara, Jakarta, 1981
13
Syaiful Bakri Djamarah, Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru, Usaha Nasional, Surabaya, 1994
12
Penulis dalam melakukan penelitian tentang “Hubungan motivasi
Dengan Prestasi Belajar siswa SMK Negeri 1 Samarinda, Tahun 1999”
dapat menyimpulkan bahwa :
1. Korelasi motivasi belajar dengan prestasi belajar siswa (r=0,62)
2. Interpretasi r= 0,62 yaitu : tingkat hubungan adalah “kuat”
3. Sumbangan relatif motivasi terhadap prestasi belajar (r
2
=0,39
atau 39%), sedang sisanya 61% dipengaruhi oleh faktor lain.
4. Pada angket motivasi dibagi dua yaitu motivasi intrinsik dan
motivasi ekstrinsik, ternyata motivasi intrinsik lebih dominan
daripada motivasi ekstrinsik, dengan perbandingan 6:4.
5. Di SMK Negeri 1 ada kelas unggulan dan kelas biasa, ternyata
kelas unggulan motivasinya lebih tinggi daripada kelas biasa.
Sebagai guru sulit rasanya untuk meningkatkan intelegensia
pelajar maka sebagai seorang motivator, guru hendaknya dapat
membangkitkan minat belajar siswa dengan cara memotivasi siswa.
Ada enam hal yang perlu dilakukan oleh guru :
14
1. Membangkitkan dorongan kepada siswa untuk belajar
2. Menjelaskan secara konkret kepada siswa apa yang dapat
dilakukan pada akhir pengajaran
3. Memberikan ganjaran terhadap prestasi yang dicapai sehingga
dapat merangsang untuk mendapat prestasi yang lebih baik
dikemudian hari
4. Membetuk kebiasaan belajar yang baik
5. Membantu kesulitan belajar siswa secara individu maupun
kelompok
6. Menggunakan metode mengajar yang bervariasi
4. Memory and Forgetting
Ingatan adalah penarikan kembali informasi yang pernah
diperoleh sebelumnya. Informasi yang pernah diperoleh sebelumnya
dapat disimpan untuk : (1) beberapa saat saja; (2) beberapa waktu;
(3) jangka waktu yang tidak terbatas.
15
Mengingat tidak sama dengan menghafal, seorang mahasiswa S2
mungkin hafal bahan yang diujikan, sesudah ia lulus ia tidak ingat lagi
bahan itu. Jadi “ingat” selangkah lebih maju dari menghafal. Bagi
beberapa orang dengan menggunakan “kunci” atau cara tertentu
dapat memudahkan mengingat dan menghafalkan. Menghafal atau
memahami bahan sering digunakan bersama-sama. Alat Bantu
mengingat, seperti untuk menentukan besarnya resistan pada resistor
(komponen elektro) yang dibedakan atas warna yang disingkat
14
ibid
15
Slameto, op cit
13
MEJIKU HIBINIU (Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila, Ungu) akan
lebih mudah diingat daripada tanpa disingkat.
Tehnik belajar bahasa adalah resitasi yaitu pengulangan terus
menerus sehingga bukan hanya hafal akan suatu hal tapi juga
meresap dalam diri pribadi menjadi bagian hidup seseorang. Hampir
80% waktu untuk belajar bahasa pada tahap awal harus digunakan ini.
Ada 3 hal yang harus dikuasai dalam belajar bahasa asing yaitu: (1)
belajar membaca dan menerjemahkan dalam bahasa sendiri; (2)
dapat menangkap pembicaraan; (3) belajar bercakap-cakap dalam
bahasa asing. Jika latihan resitasi dapat dilakukan secara teratur
niscaya ketiga ketrampilan itu akan dapat dikuasainya.
16
Pelajaran hafalan menurut hemat penulis masih perlu dilakukan
terutama untuk tingkat SD. Untuk siswa yang telah memasuki SLTP
pelajaran hafalan perlu ditinggalkan dan diganti dengan metode
pemahaman. Hanya saja untuk pelajaran bahasa, terutama bahasa
asing Teknik resitasi mutlak diperlukan, karena pengualangan-
pengulangan terus menerus akan membuat pelajar menjadi hafal.
Kemampuan untuk mengingat yang lebih maju dari pada
hafalan, ternyata masih diperlukan bagi para pembelajar dari segala
tingkatan, tentu saja guru harus pandai membuat pelajaran agar
melekat terus pada ingatan anak, misalnya belajar berhitung dibantu
dengan sempoa, menjelaskan hal yang penting secara berulang-ulang,
membuat “kata kunci” atau dengan alat bantu lainnya untuk
membantu siswa untuk mengingat sesuatu.
5. Learner Autonomy
Pembelajar mandiri (learner autonomy) adalah suatu masalah
yang eksplisit atau perhatian yang serius atau sadar. Kita tidak dapat
menerima tanggung jawab pembelajaran kita meskipun kita
mempunyai ide apa, bagaimana, kenapa kita berusaha untuk belajar.
Pembelajar harus berinisiatif untuk memberi bentuk arahan untuk
proses belajar dan harus berbagi dalam kemajuan dan evaluasi untuk
mengembangkan sasaran pembelajar yang dicapai.
Otonomi secara semantik berarti kompleks, Pembelajar mandiri
harus menginterpretasikan kebebasan dari kontrol guru, kebebasan
dari tekanan kurikulum bahkan kebebasan untuk memilih tidak
belajar. Masing-masing kebebasan ini harus dihadapkan dan
didiskusikan secara bijaksana, tetapi untuk kita yang terpenting adalah
kebebasan belajar yang tersirat di dalam diri sendiri. Yang berarti
kapasitas tersebut dibatasi dengan tujuan yang ingin dicapai.
Pembelajar mandiri secara umum adalah salah satu hasil
perkembangan dan eksperimen belajar, sebagai contoh penguasaan
16
YB. Sudarmanto, Tuntunan Metodologi Belajar, Grassindo, Jakarta, 1992

hak cipta pada http://www.guruvalah.tk
14
bahasa Ibu berhasil hanya bila dikembangkan oleh murid sebagai
pengguna bahasa tersebut, sebagai bahasa Ibu. Sama dengan belajar
melalui pengalaman membantu mendefinisikan apa itu pelayanan
masyarakat dalam memperkembangkan kapasitasnya sebagai tingkah
laku pembelajar mandiri. Kebanyakan guru tergantung latihan-latihan
pembelajar dalam jangkauan yang lebar dari kelakuan pembelajar di
luar kelas yang tergambar dalam prinsip semua pembelajar
seharusnya mampu di dalam kelas.
Beberapa kritik diajukan terhadap pembelajar mandiri ini dengan
ide-ide yang bermacam-macam, seperti bagian dari tradisi budaya
barat atau pembelajar bukan barat/aneh. (Jones, 1995). Argumen ini
dibantah bahwa metode ini digunakan untuk mengembangkan
pengetahuan pembelajar mandiri sebagai tradisi pengajaran barat
contoh budaya
pendidikan Denmark, Inggris dan Irlandia.
Perkembangan Pembelajar mandiri di Jepang dielaborasikan secara
spesifik dengan tradisi budaya Jepang baik di dalam maupun di luar
kelas, diharapkan pengalaman terhadap tantangan dan pengayaan
belajar adalah didapatkan rasa percaya diri untuk dibawa pulang
dengan pengertian yang besar mengenai teori dan implikasi praktik
pendidikan.
17
Belajar mandiri membuat para pelajar terbebas dari kelas
reguler, membuat belajar sesuai dengan kemampuan pelajar, dan
dapat melayani diri sendiri dalam hal kebutuhan belajarnya.
Paradigma belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan
pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan
adalah salah satu strategi bagi upaya peningkatan mutu pendidikan.
Untuk itu perlu diupayakan agar belajar mandiri ini dapat berkembang
dengan mendorong para pelajar untuk belajar dengan tekun yang
datang dari keinginannya sendiri. Dengan demikian akan diperoleh
generasi yang proaktif, mampu memecahkan masalahnya sendiri dan
kritis. Dengan pembelajar mandiri maka akan tercipta generasi bisa
bertoleransi, bisa berdemokrasi,
dan berbudi pekerti, serta
menghargai hak-hak orang lain. Maka untuk selanjutnya kita tidak lagi
menyebut siswa, student atau pupil tapi learner atau pelajar bagi anak
didik kita.
6. Cooperative Learning
Belajar Kelompok (Cooperative learning) adalah sebuah strategi
pengajaran yang sukses di dalam tim kecil, penggunaan sebuah variasi
dari aktivitas belajar untuk memperbaiki pemahaman subyek. Setiap
anggota tim tidak hanya bertanggung jawab pada belajar yang telah
17
http://langue.hyoer.chubu.ac.jp/jalt/pub/t;t/98/nov/littledam.html
hak cipta pada http://www.guruvalah.tk
15
diajarkan tapi juga membantu kawan belajar se-tim, jadi membuat
sebuah kondisi berprestasi.
18
Ciri-ciri pembelajaran kooperatif adalah :
19
1. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk
menuntaskan materi belajarnya
2. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan
tinggi, sedang dan rendah
3. Bila mungkin anggota kelompok berasal dari ras budaya, suku,
jenis kelami berbeda-beda
4. Penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu
Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperative :
20
Fase
Tingkah Laku Guru
Fase 1
Menyampaikan
tujuan
dan
memotivasi siswa
Fase 2
Menyajikan informasi
Fase 3
Mengorganisasikan
siswa
kedalam ke –
lompok-kelompok belajar
Fase 4
Membimbing kelompok bekerja
dan belajar
Fase 5
Evaluasi
Guru menyampaikan semua tujuan
pelajaran yang ingin dicapai pada
pelajaran tersebut dan memotivasi siswa
untuk belajar
Guru menyajikan informasi kepada siswa
dengan jalan demostrasi atau lewat
bahan bacaan
Guru
menjelaskan
kepada
siswa
bagaimana
caranya
membentuk
kelompok belajar dan membantu agar
setiap kelompok melakukan transisi
secara fisien
Guru membimbing kelompok-kelompok
belajar pada saat mereka mengerjakan
tugas mereka
18
http://www.ed.gov/pubs/OR/Consumen Guides/Index.html
19
Muslimin Ibrahim dkk, Pebelajaran Kooperative, Program Pasca Sarjana Unesa, University Pers,
Surabaya
20
ibid
16
Fase 6
Memberikan penghargaan
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang
materi yang dipelajari atau masing-
masing kelompok mempresentasikan
hasil kerjanya
Guru
mencari
cara-cara
untuk
menghargai baik upaya maupun hasil
belajar individu dan kelompok
Belajar kelompok yang terdiri 4-6 anak per kelompok sangat
bagus bagi perkembangan kepribadian anak dan perkembangan
sosialisasi. Pada belajar ini siswa dapat saling berinteraksi sehingga
akan timbul rasa persaudaraan, siswa belajar untuk mengeluarkan
pendapat, ide. Siswa akan bangga terhadap penguasaan topik tertentu
dan akan memberikan presentasi kepada teman-temannya, bahkan
dalam salah satu strategi belajar kelompok siswa dapat memperoleh
julukan ahli misalnya ahli empedu, ahli jantung dan sebagainya dalam
belajar kelompok.
Sayangnya karena kurikulum di sekolah yang padat, dan guru
harus menghabiskan materi sesuai program pengajaran maka banyak
guru yang tidak mau menjalankan, alasan repot, makan waktu dan
memerlukan kerja keras untuk memperhatikan tiap-tiap kelompok.
Biasanya guru hanya membagi kelompok pelajar untuk berdiskusi
tentang suatu topik, tanpa ada bimbingan, misalnya siswa masing-
masing berdiskusi, hasil diskusi ditulis di kertas, hasilnya dikumpulkan.
Guru yang profesional tentu tidak akan melewatkan masa-masa
tugasnya dengan menggunakan metode belajar kooperative.
DAFTAR PUSTAKA
Burton, William, The Guidances of Learning Activities, Aplleton Century
Crofts, 1952
Cece Wijaya, Pengajaran Remedial, Rosda Karya, Bandung, 2001
http://langue.hyoer.chubu.ac.jp/jalt/pub/t;t/98/nov/lttledam.html
http://www.ed.gov/pubs/OR/Consumen Guides/Index.html

17
Nasution, Didaktik Metodik, Bina Aksara, Jakarta, 1981
Muslimin Ibrahin dkk, Pembelajaran Kooperative, Program Pasca
Sarjana Unesa, University Pers, Surabaya
Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, Sinar Baru
Algensindo, Jakarta, 2000
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan, Kanisius,
Yogyakarta, 1997
Simanjuntak, B dan Pasaribu IL, Psikologi Perkembangan, Tarsito,
Bandung, 1981
Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, Rineka
Cipta, Jakarta, 1995
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Rajawali Pers, Jakarta, 1987
Syaiful Bakri Djamarah, Prestasi Belajar Dan Kompetensi Guru, Usaha
Nasional, Surabaya, 1994
YB. Sudamanto, Tuntunan Metodologi Belajar, Grassindo, Jakarta,
1992

Tidak ada komentar:

Posting Komentar